Bumi ini diwariskan dari nenek moyang kita dalam
keadaan yang sangat berkualitas dan seimbang. Nenek moyang kita telah menjaga
dan memeliharanya bagi kita sebagai pewaris bumi selanjutnya, sehingga kita
berhak dan harus mendapatkan kualitas yang sama persis dengan apa yang didapatkan
nenek moyang kita sebelumnya. Bumi adalah anugerah yang tidak ternilai harganya
dari Tuhan Yang Maha Esa karena menjadi sumber segala kehidupan. Oleh karena
itu, menjaga alam dan keseimbangannya menjadi kewajiban kita semua secara
mutlak tanpa syarat.
Masyarakat jaman dahulu telah menyadari benar bahwa
lingkungan hidup merupakan bagian kehidupannya. Dari catatan sejarah diketahui
bahwa pada abad ke-7, masyarakat di Indonesia sudah membentuk suatu bagian yang
bertugas mengawasi hutan, yang hampir sama fungsinya dengan jabatan sekarang
yang disebut dengan Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Masyarakat
seperti ini sering kita sebut masyarakat tradisional.
Kawasan hutan mereka bagi menjadi beberapa bagian,
ada yang boleh digarap yang disebut hutan rakyat, ada pula yang boleh diambil
hasil hutannya dengan syarat harus terlebih dahulu menggantinya. Kawasan hutan
ini sering disebut hutan masyarakat yang berfungsi sebagai hutan produksi. Akan
tetapi, ada pula hutan yang tidak boleh digarap sama sekali. Hutan yang tidak
boleh digarap ini merupakan hutan adat. Kawasan hutan adat ini sangat tertutup,
dan masyarakatnya percaya bahwa hutan inilah yang menjaga wilayah mereka dari
segala bencana alam.
Pada hutan masyarakat, pohon boleh ditebang untuk
keperluan masyarakat, akan tetapi sebelum ditebang harus menanam terlebih
dahulu pohon yang sama jenisnya di samping pohon yang akan ditebang sehingga
mereka tetap mewariskan lingkungan alam yang sama terhadap anak cucunya. Hal
ini menunjukkan betapa baiknya mereka menjaga lingkungan untuk diteruskan
kepada generasi yang akan datang.
Perkembangan jumlah penduduk yang cepat serta
perkembangan teknologi yang makin maju, telah mengubah pola hidup manusia. Bila
sebelumnya kebutuhan manusia hanya terbatas pada kebutuhan primer dan sekunder,
kini kebutuhan manusia telah meningkat kepada kebutuhan tersier yang tidak
terbatas. Kebutuhan manusia tidak hanya sekedar kebutuhan primer untuk dapat
melangsungkan kehidupan seperti makan dan minum, pakaian, rumah, dan kebutuhan sekunder
seperti kebutuhan terhadap pendidikan, kesehatan, akan tetapi telah meningkat
menjadi kebutuhan tersier yang memungkinkan seseorang untuk memilih kebutuhan
yang tersedia. Kebutuhan tersier telah menyebabkan perubahan yang besar
terhadap pola hidup manusia menjadi konsumtif.
Bagi yang mampu, semua kebutuhan dapat dipenuhi
sekaligus, dan bagi yang memiliki kemampuan terbatas harus memilih sesuai
kemampuannya. Akan tetapi, semua orang yang telah tersentuh oleh kemajuan jaman
akan berusaha mendapatkannya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut tidak sekedar terpenuhi
akan tetapi selalu berubah-ubah sesuai dengan perkembangan.
C.
Bentuk-bentuk Kerusakan Lingkungan Hidup dan
Faktor Penyebabnya
Meningkatnya jumlah penduduk serta kebutuhan tersier
yang semakin banyak sebagai akibat perkembangan teknologi yang pesat, telah
menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam dan lingkungan semakin berat.
Jumlah penduduk dunia yang sekarang telah lebih dari 6 miliar jiwa, tidak hanya
memerlukan kebutuhan primer dan sekunder, akan tetapi juga memerlukan kebutuhan
tersier dalam jumlah besar. Pertumbuhan penduduk dalam jumlah besar, telah
banyak mengubah lahan hutan menjadi lahan permukiman, pertanian, industri, dan
sebagainya. Hal ini mengakibatkan luas lahan hutan terus mengalami penyusutan
dari tahun ke tahun, terutama di negara-negara miskin dan negara berkembang.
Demikian pula kebutuhan tersier yang terus mengalami peningkatan, baik dalam
jumlah maupun kualitasnya, menyebabkan industri-industri berkembang dengan
pesat. Perkembangan industri yang pesat, membutuhkan sumber daya alam berupa
bahan baku dan sumber energi yang sangat besar pula. Sebagai akibatnya,
sumber-sumber bahan baku dan energi terus dikuras dalam jumlah besar. Cadangan
sumber daya alam di alam semakin merosot, hutan-hutan semakin rusak karena
banyaknya pohon yang diambil untuk kebutuhan bahan baku industri, apalagi bila
tidak diimbangi dengan usaha reboisasi akan menimbulkan bencana pencemaran
terhadap udara, air, dan tanah, yang akhirnya menganggu kehidupan manusia.
Konferensi PBB tentang Lingkungan Hidup Manusia tahun
1972 di Stockholm (Swedia), telah mengangkat masalah lingkungan hidup tidak
hanya menyangkut masalah suatu negara akan tetapi merupakan masalah dunia.
Konferensi yang diadakan pada tanggal 5-16 Juni 1972 di Stockholm, diikuti oleh
113 negara dan puluhan peninjau, merupakan pertemuan besar dan sangat penting
bagi masa depan lingkungan hidup manusia. Dari salah satu hasil konferensi
Stockholm itu, dibentuklah satu badan PBB yang menangani masalah-masalah
lingkungan yang disebut “United Nations Environment Programme” atau UNEF.
Konferensi juga menetapkan tanggal 5 Juni sebagai “Hari Lingkungan Hidup
Sedunia”.
Pencemaran lingkungan yang terjadi di suatu negara,
akan berdampak pula pada negara lain bahkan dunia. Untuk itu selalu diperlukan
kerja sama yang baik antara negara-negara di dunia untuk menangani masalah
lingkungan. Kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya berpengaruh terhadap
keadaan iklim di Indonesia, akan tetapi berakibat pula terhadap perubahan iklim
global (dunia secara menyeluruh).
Peningkatan karbon dioksida (CO2) di udara
menyebabkan efek rumah kaca. Efek rumah kaca adalah alih bahasa dari Greenhouse
effect. Greenhouse adalah rumah atau bangunan yang atap dan dindingnya terbuat
dari kaca, hanya rangkanya terbuat dari besi atau kayu. Rumah ini bukan untuk
tempat tinggal tetapi digunakan oleh petani di daerah dingin atau subtropik
untuk bercocok tanam. Walaupun suhu di luar sangat dingin pada musim gugur dan
musim dingin, tetapi di dalam rumah kaca udaranya tetap hangat sehingga tanaman
di dalamnya tetap hijau. Suhu udara yang hangat di dalam rumah kaca walaupun
pada musim gugur dan musim dingin dapat dijelaskan sebagai berikut.
Radiasi sinar matahari pada siang hari menembus kaca
masuk ke dalam rumah kaca. Radiasi sinar matahari yang diterima benda dan
permukaan rumah kaca dipantulkan kembali berupa sinar infra merah. Tetapi
pantulan tersebut tertahan oleh dinding dan atap kaca sehingga panas yang dapat
keluar dari rumah kaca itu hanya sebagian kecil sedangkan sebagian besar
terkurung di dalam rumah kaca. Akibatnya udara di dalam rumah kaca menjadi
hangat walaupun di luar udaranya sangat dingin.
Di permukaan bumi yang berfungsi sebagai atap kaca
adalah gas-gas yang ada di atmosfer. Atmosfer bumi mengandung berbagai macam
gas dan partikel-partikel berupa benda-benda padat seperti debu. Di antara
berbagai gas di udara, yang berfungsi sebagai gas rumah kaca antara lain karbon
dioksida (CO2), metana (CH4), gas nitrogen, ozon (O3),
Klorofluorokarbon (CFC), dan lain-lain. Di antara gas-gas tersebut yang paling
dominan berfungsi sebagai rumah kaca adalah karbon dioksida (CO2)
yang disebut pula dengan gas rumah kaca.
Perkembangan industri yang begitu pesat, telah
mengganggu keseimbangan gas karbon dioksida di udara. Pembakaran minyak tanah,
bensin, solar, batu bara, untuk menggerakkan pabrik-pabrik. Demikian pula
kendaraan bermotor yang menggunakan bensin atau solar sebagai bahan bakar,
pembakaran lahan dan kebakaran hutan, dan tain-lain, telah menambah jumlah
karbon dioksida di udara.
Gas rumah kaca sebenarnya sangat diperlukan dalam
mengatur suhu di permukaan bumi, yaitu menyerap dan memantulkan kembali sinar
matahari. Bila gas ini tidak ada di udara beserta dengan gas-gas lainnya yang
berfungsi sebagai gas rumah kaca maka sinar matahari yang diterima bumi akan di
pantulkan semuanya ke ruang angkasa sehingga pada malam hari suhu di permukaan
bumi sangat dingin, dan pada siang hari sangat panas sekali seperti di bulan
sehingga tidak dapat dijadikan tempat tinggal.
Masalah gas rumah kaca muncul karena kegiatan manusia
semakin banyak menghasilkan gas rumah kaca, terutama karbon dioksida. Menurut
hasil penelitian para ahli, semakin banyak gas karbon dioksida dilepaskan ke
udara dari hasil kegiatan manusia, akan semakin mempercepat kenaikan suhu di
permukaan bumi. Kenaikan suhu di permukaan bumi akan mempengaruhi iklim di
bumi, dan akan berdampak negatif pada kehidupan di muka bumi.
Suhu global (secara keseluruhan) rata-rata meningkat
0,6 °C. Hal ini berpengaruh pula terhadap iklim global yaitu iklim di seluruh
permukaan bumi.
Kenaikan suhu di permukaan bumi menyebabkan lapisan
es yang berada di kutub banyak yang mencair, dan pada akhirnya dapat
menenggelamkan kawasan-kawasan yang rendah seperti dataran-dataran pantai, dan
pulau-pulau yang rendah.
Peningkatan gas karbon dioksida yang terus
berlangsung, dan tanpa ada tindakan manusia untuk menguranginya, diramalkan 100
tahun yang akan datang suhu bumi akan naik antara 3°-4°C. Kenaikan suhu sebesar
ini akan menyebabkan perubahan iklim yang cukup berarti, dan akan disertai pula
dengan berbagai bencana alam seperti angin badai, naiknya permukaan laut,
mencairnya es di puncak-puncak gunung dan es di kutub, punahnya flora dan fauna
yang tidak tahan terhadap perubahan, dan sebagainya.
Permasalahan pemanasan global seperti diuraikan di
atas, tentunya sangat mengkhawatirkan dunia Internasional. Untuk membicarakan
hal ini, diadakan “Konvensi Perubahan Iklim” (United Nations Frame Work
Convention on Climate Change) di Kota Kyoto (Jepang) pada tahun 1997 yang
dihadiri oleh 170 negara untuk membahas pembatasan-pembatasan gas-gas penyebab
efek rumah kaca. Pada sidang tersebut, para ilmuwan PBB melaporkan bahwa
pemanasan global akan meningkatkan penyakit, mengakibatkan kegagalan panen, dan
meningginya permukaan laut.
Pada waktu kebakaran hutan secara meluas di Indonesia
beberapa waktu yang lalu telah terjadi emisi gas karbon dioksida terbesar yang
dihasilkan dari kebakaran tersebut.
Kita harus ingat istilah “Hanya Satu Bumi”, yang
berarti bumi tidak membedakan apakah emisi gas karbon dioksida itu berasal dari
negara A atau B, dari negara maju atau negara berkembang, tetapi yang jelas
peningkatan gas karbon dioksida terjadi di bumi.
Pertemuan Kyoto merupakan langkah awal untuk mengurangi
polusi karbon dioksida di udara dengan mengurangi penggunaan bahan bakar
seperti minyak bumi, gas alam, batu bara, yang disebut dengan bahan bakar fosil
dan menggantikannya dengan bahan bakar yang dapat diperbarui, misalnya sumber
energi yang berasal dari tenaga surya dan angin. Selain itu, pabrik-pabrik yang
menggunakan energi fosil perlu diganti dengan pabrik-pabrik baru yang
berteknologi tinggi, yang lebih bersih terhadap lingkungan. Permasalahannya
sekarang adalah biaya yang harus dikeluarkan untuk melakukan pengurangan gas
rumah kaca tersebut sangat besar sekali, mencapai ratusan bahkan ribuan miliar
dollar. Suatu nilai yang sangat menakjubkan.
Untuk mengurangi gas rumah kaca, diperlukan dana yang
sangat besar. Kendaraan-kendaraan bermotor yang selama ini menggunakan bahan
bakar minyak atau gas, bila diganti dengan energi lain menyebabkan harga
kendaraan menjadi sangat mahal sehingga konsumen akan keberatan. Hal ini
merupakan kendala utama untuk menuju program langit biru, yaitu program yang
menjadikan udara bersih dari polusi, masih jauh dari harapan.
Masalah lingkungan hidup sebenarnya tidak hanya pada
emisi gas karbon dioksida. Permasalahan lingkungan hidup cukup kompleks.
Penebangan hutan yang menyebabkan banjir, pencemaran terhadap air oleh limbah-limbah
industri, pembuangan sampah ke dalam sungai (termasuk sampah rumah tangga),
pencemaran terhadap tanah, dan sebagainya, merupakan ancaman bagi kehidupan
manusia.
Ancaman banjir setiap musim hujan di berbagai belahan
dunia termasuk di Indonesia, adalah akibat dari perbuatan manusia sendiri yang
menebang hutan untuk mengejar keuntungan sesaat. Berbagai wilayah di Indonesia
setiap musim hujan dilanda banjir dan tanah longsor, baik kota maupun luar
kota.
Penataan ruang kota yang kurang memperhatikan dampak
lingkungan, serta kehancuran hutan-hutan di daerah tangkapan air, menjadi
penyebab utama banjir di Jakarta.
Penanggulangan banjir seperti di Jakarta dan
kota-kota lainnya, tidak hanya diperlukan penataan di dalam kota seperti
pembuatan saluran pembuangan air dan tempat penampungan air, akan tetapi daerah
tangkapan air hujan di daerah hulu sungai perlu di tata kembali, hutan-hutan
yang rusak perlu direhabilitasi.
Luas hutan di Pulau Jawa telah berada jauh di bawah
luas hutan yang ideal yaitu ± 40% dari luas wilayah. Luas hutan di Jawa Barat
(termasuk Provinsi Banten) hanya tinggal 21%, Jawa Tengah 20%, Jawa Timur 28%,
rata-rata luas hutan di Pulau Jawa tinggal 23%. Demikian pula halnya hutan di
pulau-pulau lainnya seperti di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lain,
kerusakan hutan terus bertambah luas karena faktor manusia. Satwa-satwa yang
ada di dalam hutan hidupnya semakin terancam dan merana karena habitat mereka
yang merupakan tempat hidupnya telah dirusak oleh manusia untuk memperoleh keuntungan.
Indonesia memiliki hutan mangrove terluas di dunia
yaitu sekitar 3,5 juta hektar dari total luas hutan mangrove dunia sebesar 15
juta hektar. Tetapi luasnya terus mengalami kemerosotan karena telah berubah
fungsi. Hutan mangrove yang berfungsi sebagai benteng terhadap abrasi (kikisan
air laut), serta tempat hidup dan bertelur berbagai jenis ikan laut, banyak
yang telah berubah fungsi menjadi tambak-tambak ikan, dan
kepentingan-kepentingan lainnya. Kayu-kayu di hutan mangrove ditebangi untuk
dijual dan dijadikan kayu arang. Akibatnya kerusakan hutan bakau yang terus
meningkat tidak terhindarkan. Di pantai utara Pulau Jawa diperkirakan 90% telah
rusak, demikian pula halnya pada pantai-pantai lainnya walaupun belum seberat
kerusakan hutan bakau di Pantai Utara Jawa.
Malapetaka alam seperti intrust (penyusupan) air laut
ke daratan, abrasi dan banjir sulit dihindari. Demikian pula kegiatan
masyarakat pantai yang menangkap udang, ikan, kepiting, dan lain-lain, akan
semakin sulit akibat rusaknya lingkungan hutan mangrove.
Tindakan-tindakan manusia di atas telah menimbulkan
dampak yang sangat buruk bagi lingkungan, dan pada akhirnya akan memberikan
dampak buruk pula terhadap manusia sendiri.
Kerusakan lingkungan yang disebabkan berbagai faktor
sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya, akan menimbulkan berbagai dampak
yang sangat merugikan dan mengganggu kehidupan manusia. Flora dan fauna akan
banyak yang punah, meningkatnya penyakit pada manusia, penurunan hasil panen,
kemarau yang berkepanjangan. Atau sebaliknya, curah hujannya sangat tinggi yang
menimbulkan banjir besar, kekeringan air pada musim kemarau, rusaknya terumbu
karang, dan sebagainya.
Manusia harus sadar betapa pentingnya arti
lingkungan hidup bagi kehidupan. Keserakahan yang menyebabkan rusaknya
lingkungan hidup harus dibayar dengan sangat mahal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar